Jumat, 11 April 2008

ADVOKAT DAN TANGGUNG JAWAB BANTUAN HUKUM


Oleh : Saiful Arif, SH
Arthur T. Vanderbilt mengatakan bahwa fungsi utama dari advokat adalah memberikan bimbingan, pembelaan, memajukan profesinya, memajukan peradilan dan hukum, memberikan kepemimpinan dalam pembentukan pendapat umum, memangku jabatan resmi tanpa mementingkan diri sendiri dan bukan menjadi sekedar organ mekanis sebuah peradilan. Advokat yang demikan, dia katakan sebagai a truly great lawyers.

Sejak diundangkannya UU No 18 Tahun 2003, profesi pengacara / advokat memasuki babak baru dalam kancah penegakan hukum di Indonesia. Sebuah profesi ‘officium nobile’ ini tidak lagi menjadi sekedar pemain tambahan-pelengkap dalam penegakan hukum di Indonesia, melainkan menjadi satu kesatuan 4 pendekar penegak hukum atau yang dikenal sebagai catur wangsa penegakan hukum, polisi-jaksa-hakim-advokat. Perubahan-perubahan mendasar pun dilakukan, mulai dari sistem perekrutan, keorganisasian, penegakan kode etik hingga pengangkatan. Semua itu jelas ditujukan untuk membangun sebuah profesionalitas profesi advokat yang lebih terstruktur dan berwibawa.

Advokat kini juga memiliki peran strategis dalam penegakan hukum, khususnya dalam lingkup peradilan kepada masyarakat pencari keadilan. Harapan besar disematkan kepada advokat-advokat untuk membuka akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin dan buta hukum di tengah-tengah peradilan Indonesia yang masih belum menghadirkan sebuah peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah.

Kita harus mengakui, peradilan di Indonesia, baik di tingkat pertama hingga terakhir, masih diwarnai praktek-praktek mafia peradilan yang secara langsung menciptakan peradilan yang lambat, rumit dan mahal. Istilah mafia peradilan adalah untuk menggambarkan fenomena buruknya peradilan kita, yang dapat diartikan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif, yang dilakukan oleh aktor tertentu untuk mempengaruhi proses penegakan hukum sehingga mendorong terjadinya pelanggaran HAM yakni hak atas keadilan. Sehingga, alih-alih memproduksi keadilan, lembaga peradilan justru lebih sering menjadi ladang subur praktek-praktek ketidakadilan, terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki akses ekonomi.
Praktek mafia peradilan tersebut setidaknya mempengaruhi 4 hal :

Pertama, prosedur-prosedur beracara yang rumit dan berbelit-belit membuat proses pencarian keadilan di forum-forum hukum menjadi tidak sederhana dan sulit dipahami, mengakibatkan rendahnya kemandirian dan keberanian masyarakat pencari keadilan untuk bersentuhan dengan institusi-institusi hukum.

Kedua, proses hukum menjadi penuh intrik, rekayasa dan tipu daya, baik secara substansi maupun prosedur penegakannya, mengakibatkan proses penegakan hukum berjalan begitu panjang/lama dan penuh lika-liku yang tidak perlu. Sehingga baik korban maupun tersangka sama-sama akan dikuras tenaga, pikiran dan waktu untuk sekedar menanti keputusan lembaga peradilan yang belum tentu juga nantinya mencerminkan rasa keadilan bagi mereka.

Ketiga, praktek jual beli dan konspirasi keadilan yang telah membudaya tersebut, bahkan relatif dianggap wajar, melahirkan biaya-biaya siluman di luar biaya formal dalam jumlah yang sangat besar, yang harus ditanggung oleh para masyarakat miskin dan masyarakat pencari keadilan pada umumnya.

Keempat, kondisi demikian melahirkan ketidakmampuan dan pesimisme bahkan apatisme masyarakat untuk beracara di institusi-institusi hukum. Konsekuensinya adalah hak atas keadilan (yang merupakan bagian dari hak azasi manusia) masyarakat harus terdegradasi oleh praktek-praktek mafia peradilan.

Potret tersebut merupakan tantangan besar bagi advokat untuk ikut mendorong atau berkontribusi dalam pemenuhan hak atas keadilan di forum-forum peradilan di Indonesia; atau setidaknya tidak ikut-ikutan terlibat dalam praktek-praktek mafia peradilan itu sendiri dan menjadi black lawyers. Tantangan tersebut tentu tidak cukup dijawab dengan sebuah komitmen saja, melainkan wajib diwujudkan dalam ragam realisasi dan aktivitas, di peradilan maupun di luar peradilan.

Undang-undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat memberikan kewajiban kepada advokat untuk melakukan bantuan hukum, yang secara normatif disebutkan bahwa bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Pasal tersebut bukanlah sebuah pasal pelengkap, ia memiliki kandungan makna bahwa advokat bertanggung jawab untuk ikut mendorong hak atas keadilan bagi masyarakat , khususnya masayarakat miskin dan buta hukum. Pasal tersebut, tentu saja, tidak bermaksud meletakkan fungsi bantuan hukum sebagai bagian dari belas kasihan atau charity profesi advokat; sama sekali tidak.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) berpandangan bahwa hak atas kadilan (acces to justice), sebenarnya tidak terbatas pada bantuan hukum (legal aid) di forum peradilan semata. Hal ini disebabkan karena masalah pemenuhan hak atas keadilan bukan hanya persoalan hukum semata melainkan juga masalah politik, bahkan lebih jauh lagi adalah masalah budaya. Persoalannya bertambah rumit apabila kita melihatnya dari sudut ekonomi, disebabkan oleh kemiskinan yang semakin luas, tingkat buta huruf yang tinggi, dan keadaan kesehatan yang buruk, yaitu yang disebut sebagai kemiskinan struktural. Sehingga bantuan hukum tidak cukup dimaknai dengan bantuan hukum secara litigatif di lembaga peradilan semata. YLBHI menyebutnya dengan konsep bantuan hukum struktural.

Sungguh-pun bantuan hukum merupakan tanggung jawab normatif dari advokat, aktivitas bantuan hukum juga dilakukan oleh beragam institusi dengan bahasa operasional yang beragam mulai dari konsultasi, pendampingan litigasi dan non-litigasi, legal drafting, pendidikan hukum, kampanye, riset, aksi dan lain-lain. Peran perguruan tinggi, NGO/LSM dan ormas dalam melakukan bantuan hukum tidak dapat dikesampingkan begitu saja; walaupun dengan bahasa oprasional yang beragam, mereka tetap merupakan aktor yang potensial dan penting dalam melakukan bantuan hukum. Sayang sekali, UU No 18 tahun 2003 tidak lagi memberikan ruang partisipasi bagi mereka untuk melakukan bantuan hukum di forum peradilan. Sayang sekali.

Tertutupnya akses aktor non-advokat untuk melakukan bantuan hukum di forum peradilan, menjadikan advokat merupakan harapan satu-satunya bagi masyarakat pencari keadilan untuk menemukan keadilan di lembaga peradilan. Hal tersebut menjadi kabar buruk bagi masyarakat pencari keadilan yakni masyarakat miskin dan buta hukum, jika advokat belum juga menjadikan bantuan hukum sebagai prioritas pembangunan integritas profesi advokat, tapi hanya sekedar belas kasihan dan syarat administrasi memperpanjang kartu advokat; dan lagi, aktivitas bantuan hukum belum juga mendapat dukungan yang memadai dari negara.

Walaupun demikian, bantuan hukum memang bukan milik advokat saja. Bantuan hukum harus menjadi bagian dari satu kesatuan sistem penegakan hukum, serta menjadi prioritas pembangunan struktur dan kultur hukum oleh negara. Akses rakyat untuk mendapatkan keadilan akan terhambat, apabila negara mengabaikan tanggung-jawabnya untuk memenuhi, menghormati dan melindungi hak atas keadilan. Hak atas keadilan tidak boleh dipahami sebagai sebuah program pemerintah untuk meraih simpati masyarakat miskin, tetapi harus betul-betul dipahami sebagai upaya penegakan hak azasi manusia; dengan cara menciptakan sebuah regulasi oprasionalisasi yang tepat, politik anggaran yang memadai serta mekanisme penegakan yang jelas.

Kabar buruknya adalah, praktek bantuan hukum di Indonesia belum dianggap sebagai sebuah pekerjaan yang penting. Kita bisa melihat, bagaimana pelembagaan bantuan hukum semakin tidak jelas arahnya. POSBAKUM (Pos Bantuan Hukum) yang dikelola oleh beberapa organisasi advokat di beberapa Pengadilan Negeri kini kondisinya tidak lebih menjadi ruang tunggu atau ruang istirahat para advokat yang menanti jadwal sidang yang tidak pernah pasti. Minimnya dukungan dana juga sering dikeluhkan oleh para advokat; walaupun di kebanyakan daerah telah memasukkan anggaran bantuan hukum ke dalam APBD. Namun sayang, dana bantuan hukum tersebut hanya dimaksudkan untuk aparat pemerintahan yang terjerat pidana korupsi, bukan untuk masyarakat miskin.

Ide pembentukan Undang-undang Bantuan Hukum pun lebih banyak ditentang secara apriori, daripada didiskusikan secara konstruktif. Undang-undang Bantuan Hukum pun dianggap sebagian orang sebagai ancaman eksistensi profesi advokat, lalu bagaimana kita berharap ketentuan bantuan hukum dapat berjalan secara efektif jika tidak didukung dengan landasan filosofis, normatif dan kententuan operasional yang jelas.

Semoga minimnya dukungan tersebut tidak menjadi deret panjang pledoi advokat untuk tidak terlibat dalam aktivitas bantuan hukum sebagai bagian untuk membuka hak atas keadilan bagi masyarakat miskin dan buta hukum. Itu juga-lah yang menjadi pekerjaan rumah bagi advokat untuk lebih bekerja keras mendorong bagaimana hak atas keadilan masyarakat miskin dan buta hukum dapat terwujud, seburuk dan seberat apapun kondisinya. Karena a truly great lawyers, kata Arthur T. Vanderbilt, memiliki kekuatan, keberanian dan kepemimpinan untuk memajukan profesinya, memajukan peradilan dan hukum. Dengan demikian, profesi advokat akan kembali memperoleh sebuah derajat pengakuan dan penghormatan yang dahulu pernah disematkan pada advokat, a officium nobile.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Wah, kalo ada LBH di malang tentu bisa membantu buruh yang banyak menjerit di kota malang. alamatnya di mana pak?