Kamis, 18 September 2008

KRIMINALISASI SHOLAT DUA BAHASA, ANCAMAN EKSPRESI BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN

Oleh : LBH MALANG

PENDAHULUAN
Pluralisme agama, bagi Indonesia, di satu sisi menjadi kekayaan yang tidak ternilai, di sisi yang lain memiliki perjalanan konflik sosial yang panjang. Perdebatan dibentuknya negara agama pada tahun-tahun awal kemerdekaan terjadi dengan sangat terbuka dan melahirkan aksi-aksi anarkis bahkan gerakan separatis di beberapa daerah di Indonesia. Gerakan-gerakan tersebut merupakan upaya totalisasi / penyeragaman satu agama tertentu yang dipaksakan untuk dianut dan dipercayai sebagai agama yang paling benar dan paling layak. Walaupun akhirnya gerakan tersebut tidak memperoleh dukungan yang berarti, namun upaya totalisasi masih terus berlangsung, dan tentu saja, tetap menjadi ancaman bagi pluralisme.
Gerakan totalisasi sering kali “dilegitimasi” oleh doktrin-doktrin agama yang membenarkan pemberangusan ajaran-ajaran di luar ajarannya. Belakangan gerakan totalisasi di-backup oleh kekuatan intelektual-religius yang meng-klaim sebagai “wakil Tuhan” yang berhak menentukan mana yang benar dan mana yang salah sebuah ajaran. Parahnya, negara tidak menjadi pelindung dan penjamin terpenuhinya kebebasan beragama dan berkeyakinan, tetapi justru terhanyut ke dalam upaya totalisasi itu sendiri.
Awal tahun 2004, kasus pelanggaran atas hak berkeyakinan yang dipicu adanya sebuah fatwa dari sekelompok pemuka agama tertentu, terjadi secara bergantian dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama. Di Jawa timur saja setidaknya terjadi 8 kasus, di mana masing-masing kasus memiliki basis persoalan yang berbeda-beda namun memiliki karakteristik yang hampir sama yakni pertarungan antara penganut agama minoritas melawan penganut agama mayoritas. Pada akhirnya, hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terdegradasi oleh praktek-praktek pelarangan, penyesatan, kekerasan dan kriminalisasi yang dilakukan oleh state actor maupun non-state actor (by ommision maupun by commision).
Kasus sholat dua bahasa yang dikembangkan oleh Moch Yusman Roy di Kabupaten Malang-Jawa Timur, menjadi sebuah contoh kecil di mana bangsa ini belum siap menerima keberagaman bentuk ekspresi beragama dan berkeyakinan seseorang. Moch Yusman Roy diadili karena dianggap melakukan penodaan agama serta penyebaran kebencian melalui ajaran yang dikembangkannya, hingga Moch Yusman Roy harus mendekam di penjara selama 2 tahun dan tidak lagi dapat mengembangkan ajarannya karena Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku (tempat dia mengembangkan dan menyebarluaskan ajarannya) ditutup oleh Bupati Malang dengan alasan yang dipaksakan.

SHOLAT DUA BAHASA, CARA MOCH YUSMAN ROY DALAM BERKOMUNIKASI DENGAN TUHAN
Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku berdiri pada tanggal 9 Oktober 2002, Yayasan Taqwallah Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku didirikan oleh Moch Yusman Roy di Kabupaten Malang, tepatnya di Jl Sumber Waras Timur No 136, RT 003 RW 004, Kelurahan Kalirejo, Kabupaten Malang.
Moch Yusman Roy, seorang muallaf, mantan petinju berdarah Belanda lahir di Surabaya pada 25 Februari 1955 adalah anak tunggal dari pasangan Umar Sidik (Alm) keturunan Jawa yang beragama Islam dan Charlie Emamahit, keturunan Belanda yang awalnya beragama Khatolik kemudian masuk Islam. Saat kecil orang tua Moch Yusman Roy bercerai, ia ikut ibunya. Saat ikut ibunya, Moch Yusman Roy beragama Khatolik, kemudian Moch Yusman Roy ikut ayahnya. Kemudian sejak tahun 1875 Moch Yusman Roy masuk Islam.
Sebuah refleksi besar dilakukan oleh Moch Yusman Roy ketika ia tiba-tiba tergerak untuk pergi ke sebuah toko buku di Surabaya dan menemukan sebuah Al-Qur’an yang disertai dengan terjemahannya; yang membuat dia berpikir bahwa dunianya selama ini tidak memberikan ketentraman. Mulai saat itulah, ia tertarik untuk mempelajari ajaran-ajaran Islam, meninggalkan dunianya yang ia anggap sebagai kegelapan.
Moch Yusman Roy kemudian belajar ilmu agama Islam selama 15 tahun di bawah asuhan seorang guru bernama KH Syatarmajid di Peneleh Surabaya. Moch Yusman Roy kemudian ingin memperdalam tak hanya syari’at tapi juga hakikat. Ia pun berguru lagi selama lima tahun. Dalam belajar ilmu hakikat, ia sering berkontemplasi mengenai kandungan makna Al-Qur’an. Gagasan sholat dua bahasa adalah ujung dari perjalanan pencariannya terhadap Tuhan. Ia berujar telah mendapat petunjuk dari Allah saat menunaikan ibadah haji pada tahun 2000. Pada tahun 1997 Moch Yusman Roy mendirikan Yayasan Taqwallah.
Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku mempunyai basis kegiatan di sebuah perkampungan, 15 km dari kota Malang. Selain aktivitas keagamaan, pondok tersebut juga memiliki unit usaha yang dijalankan oleh para santri pondok berupa kerajinan dari kulit yang dipasarkan di kota Malang maupun di luar kota. Sehari-hari kehidupan Yusman Roy dan para santri hidup berdampingan dengan masyarakat sekitar.
Seperti ajaran-ajaran pondok pada umumnya, ajaran Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku adalah menanamkan pemahaman terjemahan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan kitab terjemahan (terbitan Departemen Agama) dan Hadist. Tujuannya adalah agar ajaran Al-Qur’an dan Hadist tersampaikan dan dipahami secara benar, maka untuk itu terjemahan menjadi hal yang penting dalam ajaran pokok Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku; termasuk dalam sholat.
Ajaran ini terutama terkait dengan tata cara mengimami sholat berjamaah. Dalam hal ini sang imam mengeraskan bacaan ayat dalam sholat baik bahasa Arab-nya maupun terjemahannya (dalam hal ini adalah bahasa Indonesia) terutama bacaan yang memang dalam tata cara berjamaah harus dibaca jahr (lantang) seperti dalam membaca surat Al-Fatihah dan ayat Al-Qur’an lainnya. Moch Yusman Roy mengajarkan itu berdasarkan rujukan Surat Ibrahim ayat 4 yang artinya :
“Kami tidak mengutus seorang rosul pun melainkan dengan bahasa kaumnya supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan dialah Allah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”
Landasan qath’i yang lain adalah merujuk pada surat An Nisa’ ayat 43 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”
Menurut Moch Yusman Roy, tidak ada dalil Al-Qur’an yang melarang untuk menterjemahkan bacaan Al-Qur’an ke dalam bahasa apapun dan kapan pun. Hal ini merujuk pada surat Fushshilat ayat 44 yang artinya :
“Dan jikalau kami jadikan Al-Qur’an itu suatu bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab, tentulah mereka mengatakan, “mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya ?” Apakah patut Al-Qur’an dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab ? Katakanlah : Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman di dalam telinga mereka ada sumbatan dan suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh”
Yusman Roy mengajarkan bahwa dalam sholat yang terpenting adalah pelaku dapat memahami apa yang dilakukan dan dibaca dalam sholat, sehingga sholat menjadi berfungsi sebagaimana mestinya, yakni mencegah dari kemungkaran. Dia mengajarkan bahwa Sholat harus dilakukan dengan bahasa kaum, karena tidak semua umat Islam mengerti bahasa Arab.
Secara teknis, sholat versi Moch Yusman Roy dilakukan dengan gerakan sholat pada umumnya, namun pada setiap pelafalan bacaan sholat (yang berbahasa Arab) kemudian ditambah dengan terjemahan dengan bahasa kaum atau dalam hal ini bahasa Indonesia.

KRONOLOGIS PEMBUNGKAMAN TERHADAP KEYAKINAN YUSMAN ROY
Pada tanggal 17 Agustus 2003, Moch Yusman Roy membuat tulisan selebaran “Untuk menjaga kesehatan jiwa dan rohani anda, therapy-lah dengan formula Al-Qur’an. Merdeka !!!”. Pihak Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku mengirim surat kepada Kepala Badan Kesatuan Bangsa (BAKESBANG) Pemerintah Provinsi Jawa Timur Nomor : 072/232/212/2003 tanggal 1 Oktober 2003 tentang “Permohonan Pertimbangan Survei/Research” atas nama Bambang Sutedjo yang bermaksud mengedarkan selebaran secara gratis yang berjudul sholat berjamaah yang sah dan afdhol, namun tidak pernah mendapatkan respon yang jelas.
Pada tanggal 21 Januari 2004, MUI Kabupaten Malang mengeluarkan fatwa Nomor : Kep.02/SKF/MUI/KAB/I/2004 tentang Penyiaran Ajaran Sesat di Jalan Sumberwaras Timur Nomor 136 Kelurahan Kalirejo Kecamatan Lawang tempat Moch Yusman Roy melakukan syiar Agama Islam. Namun baru tanggal 27 November 2004 (10 bulan setelah SK MUI) Moch Yusman Roy mengetahui adanya fatwa dari informasi salah seorang anggota DPRD. Pihak yayasan pada saat itu langsung mendatangi Sekretaris Umum MUI untuk mengklarifikasi dan minta draf fatwa tersebut, namun hanya diberikan dalam bentuk fotocopy.
Berdasarkan adanya fatwa tersebut, Moch Yusman Roy mengadukan adanya tindak pidana pencemaran nama baik yang dilakukan oleh pihak MUI. Moch Yusman Roy juga sempat mengirimkan surat pengaduannya kepada KOMNAS HAM yang dibalas dengan pernyataan membenarkan tindakan upaya hukum yang dilakukan oleh Moch Yusman Roy.
Pada tanggal 24 Januari 2005 Moch Yusman Roy menerima surat dari Kepolisian Resort Kabupaten Malang mengenai perkembangan penyidikan; dalam surat tersebut dinyatakan pengaduan yang dilakukan oleh Moch Yusman Roy mengadukan tindak pencemaran nama baik yang dilakukan oleh MUI tidak dapat diproses karena eror in persona, dan menyarankan jalur hukum yang lain.
Pada tanggal 27 Januari 2005, Moch Yusman Roy membalas surat kepada Kepolisian Resort Kabupaten Malang, meminta petunjuk jalur hukum mana yang bisa ditempuh, sebagaimana yang dimaksud dalam surat dari Kepolisian. Namun surat Moch Yusman Roy tidak pernah mendapat balasan dari pihak Kepolisian.
Belum sempat pihak Kepolisian Resort Kabupaten Malang menindaklanjuti pengaduan pencemaran nama baik dari Moch Yusman Roy, MUI Provinsi Jawa Timur mengeluarkan surat dengan nomor B-160/MUI/JTM/II/2005, perihal telaah misi dan visi Yayasan Taqwallah yang menaungi Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku selain menguatkan keputusan MUI Kabupaten Malang juga menyatakan dapat dikategorikan sebagai pelecehan agama.
Pada tanggal 21 Februari 2005 MUI Provinsi Jawa Timur di dalam suratnya menghimbau kepada beberapa pihak terkait khususnya Kanwil Departemen Agama Jawa Timur bersama jajarannya di daerah, aparat penegak hukum dan MUI agar mengadakan rapat koordinasi dalam rangka antisipasi dan atau mengambil langkah-langkah konkrit atas faham-faham yang dapat menyesatkan umat beragama atau bahkan dapat menjurus kepada penodaan agama. Surat disampaikan kepada Gubernur Jawa Timur, Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur, Kapolda Jatim, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur, Ketua Dewan Pemimpin MUI Kabupaten Malang, Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Malang, Dewan Pimpinan MUI di Jakarta.
Pada tanggal 30 April 2005, tabloid ‘Nurani’ akan menyelenggarakan acara debat terbuka dengan surat undangan musyawarah debat terbuka ditujukan kepada Ketua MUI Kabupaten Malang dan Ketua MUI Provinsi Jawa Timur. Acara sedianya diselenggarakan pada tanggal 30 April 2005, namun MUI menyatakan penolakannya / keberatan atas penyelenggaraan debat sholat berbahasa Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, tabloid ‘Nurani’ mengadakan seminar mengenai sholat dua bahasa, tema debat terbuka diganti dengan seminar mengenai sholat bilingual.
Pada tanggal 4 Mei 2005, para ulama yang tergabung dalam Pimpinan Muhammadiyah Jawa Timur, PWNU Jatim dan MUI Jatim mengancam Moch Yusman Roy, dan meminta aparat untuk menangkap dia. Pada tanggal 6 Mei 2005, Kepolisian Resort Kabupaten Malang mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan yang ditujukan kepada Moch Yusman Roy No Pol : SP.Kap/99/V/2005/Reskrim dengan tuduhan melanggar pasal 156a KUHP. Pada hari yang sama, Bupati Malang mengeluarkan Surat Keputusan tentang Penghentian Kegiatan Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku di Kecamatan Lawang Kabupaten Malang.
Sejak tanggal 7 Mei 2005, Moch Yusman Roy resmi ditahan oleh Kepolisian Resort Kabupaten Malang dengan dugaan melakukan tindak pidana pasal 156a dan 157 KUHP. Pada tanggal 6 Juni Kejaksaan Negeri Kabupaten Malang mengeluarkan Surat Penahanan Tingkat Penuntutan yang ditujukan kepada Moch Moch Yusman Roy.
Pada tanggal 7 Juni 2005, sidang kasus pidana Moch Yusman Roy disidangkan, dengan perkara No Reg. Perk : PDM-462/KPJEN/2005. Agenda sidang pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum, didakwa dengan pasal 156 huruf a dan tindak pidana pasal 157 (1) KUHP.
Tanggal 29 Juni 2005, Moch Yusman Roy memberikan kuasanya kepada LBH Surabaya Pos Malang, kemudian dibentuklah Tim Pembela Kebebasan Beragama (TPKB).
Sidang lanjutan dilakukan di PN Kepanjen Kabupaten Malang, dengan agenda sidang pembacaan Eksepsi yang dilakukan oleh Tim Pembela Kebebasan Beragama (TPKB) adapun pokok-pokok keberatan sebagai berikut :
Kebebasan beragama bukanlah tindak pidana melainkan hak Asasi manusia;
Pengadilan Negeri kepanjen tidak berwewenang secara absolut mengadili perkara ini;
Tidak terdapat konsistensi dan sinkronisasi antara hasil penyidikan dengan penyusunan dakwaan;
Surat dakwaan harus lengkap, jelas dan cermat.
Pada tanggal 11 Juli 2005, putusan sela terhadap eksepsi dibacakan. Eksepsi ditolak dan sidang dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi. Ternyata masa penahanan Moch Yusman Roy telah habis, perpanjangan penahanan yang dikeluarkan oleh PN kepanjen Kabupaten Malang tanggal 10 Juni 2005 berakhir sampai dengan 9 Juli 2005 dan belum ada perpanjangan penahanan dari PN Kepanjen Kabupaten, namun terdakwa tetap ditahan.
Pada tanggal 14 Juli 2005 TPKB ke PN bertemu dengan Ketua PN Kepanjen Kabupaten Malang klarifikasi proses penahanan dan meminta hakim untuk membebaskan terdakwa demi hukum, namun ketua PN sekaligus majelis hakim membenarkan ada kesalahan administrasi dan berjanji akan menyelesaikannya, namun terkait dengan status terdakwa untuk dibebaskan demi hukum seperti ketentuan KUHAP tidak dikabulkan, dan mengharuskan terdakwa untuk diproses menurut hukum. TPKB melaporkan tindakan ketua PN Kepanjen Kabupaten Malang itu ke MA, Menkum dan HAM, Komnas HAM.
Pada tanggal 18 Agustus 2005 sidang dilanjutkan dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum isi tuntutan :
Menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan atau penodaan agama sebagaimana diatur dalam pasal 156a huruf a KUHP dalam surat dakwaan primer;
Menjatuhkan pidana 3 tahun penjara pada terdakwa;
Menyatakan barang bukti berupa selebaran dan VCD dirampas untuk dimusnahkan;
Menyatakan terdakwa bersalah dan membayar biaya perkara Rp 1000 (seribu rupiah).
Pada tanggaal 30 Agustus 2005 sidang dilanjutkan dengan pembacaan putusan No: 461/Pid.B/2005/PN.Kpjn. Majelis hakim memutuskan :
Terdakwa Moch Yusman Roy tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan primer;
Membebaskan terdakwa dari dakwaan primer;
Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menyiarkan surat atau gambar yang isinya menyatakan permusuhan, penghinaan terhadap golongan penduduk di Indonesia;
Menghukum terdakwa dengan penjara selama 2 tahun;
Menyatakan barang bukti dirampas untuk dimusnahkan;
Menyatakan terdakwa tetap ditahan.
Pada tanggal 5 September 2005 TPKB mengajukan permohonan banding ke Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur c.q. Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen Kabupaten Malang. Pada tanggal 22 November 2005 putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No: 361/PID/2005/PT.SBY mengadili dan isinya :
Menerima permohonan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa;
Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Kepanjen No: 461/Pid.B/2005/PN.Kpjn yang dimohonkan banding tersebut;
memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan;
Menetapkan agar hukuman tersebut dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan.
Pada bulan November 2005 TPKB melakukan upaya hukum kasasi, dan baru pada tanggal 27 Januari 2006 keluar putusan kasasi Nomor 75/K/Pid/2006 yang amar putusannya berbunyi:
Menyatakan permohonan kasasi dari pemohon kasasi terdakwa Moch Yusman Roy tidak dapat di terima;
Menolak permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Kab Malang di Kepanjen.
Gugatan Moch Yusman Roy terhadap SK Bupati Malang di PTUN dinyatakan kalah sehingga sampai sekarang Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku tidak boleh menjalankan aktifitasnya melakukan sholat dua bahasa karena SK bupati yang belum dicabut.

KEGAGALAN MEMBUKTIKAN UNSUR-UNSUR DELIK PENODAAN AGAMA
Tanggal 7 Juni 2005, Moch Yusman Roy resmi disidangkan di Pengadilan Negeri Kepanjen Kabupaten Malang dengan nomor perkara No Reg. Perk : PDM-462/KPJEN/2005, yang diawali dengan pembacaan surat dakwaan Penuntut Umum. Moch Yusman Roy didakwa dengan pasal 156 huruf a dan tindak pidana pasal 157 (1) KUHP.
Di samping diatur dalam KUHP, bab penodaan agama juga diatur dalam UU Nomor 1/Pnps/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang berisi tentang bagaimana tata cara atau mekanisme pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Berikut isi dan unsur-unsur dari pasal yang relevan dengan konteks penodaan agama :
ATURAN
PASAL
ISI
KUHP
156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :
Yang ada pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia
Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa
KUHP
157(1)
Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum, tulisan atau lukisan yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Pnps
1
Setiap orang dilarang dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan – kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan – kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok – pokok ajaran agama itu.
Pnps
2 (1)
Barangsiapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.
Pnps
2(2)
Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi / Aliran Kepercayaan terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.
Pnps
3
Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama – sama Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, organisasi, atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota, dan / atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama – lamanya lima tahun
Dakwaan Permusuhan, Penyalahgunaan dan Penodaan Agama
Sholat dua bahasa yang diajarkan dan dikembangkan oleh Moch Yusman Roy merupakan ekspresi beragama dan berkeyakinan yang semata-mata ditujukan untuk mengembangkan/meningkatkan kualitas komunikasi dengan Tuhan, yakni dengan sholat yang menggunakan bahasa ummat dalam hal ini adalah bahasa Indonesia.
Dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan (barang bukti, keterangan saksi dan keterangan ahli) sebagai berikut :
Secara teknis, sholat versi Moch Yusman Roy dilakukan dengan gerakan sholat pada umumnya, namun pada setiap pelafalan bacaan sholat (yang berbahasa Arab) kemudian ditambah dengan terjemahan dengan bahasa kaum atau dalam hal ini bahasa Indonesia.
Ajaran yang dikembangkan Moch Yusman Roy tidak merubah prinsip aqidah/ketuhanan karena tetap mengakui ke-Esa-an Allah SWT dan kerasulan Muhammad SAW, melainkan tata cara beribadah yakni sholat.
Praktek sholat dengan bahasa kaum sejatinya bukan sesuatu yang baru, melainkan telah terjadi dan ada yakni oleh Abu Hanifah yang melaksanakan sholat dengan bahasa Persia. Walaupun sholat menggunakan bahas non-Arab tidak sesuai dengan pendapat sebagian ulama’ Fiqh Sunni, tetapi pendapat itu bukan pendapat yang aneh. Perbedaan dalam tata cara sholat pun sejatinya juga terjadi pada penafsiran para ulama pada sholatnya Rasul. Perbedaan tersebut luar biasa besar sekali. Ada yang mengatakan bahwa membaca Fatihah itu wajib. Ada yang mengatakan tidak wajib. Ada yang mengatakan bahwa Fatihah wajib untuk seluruh raka’at. Jadi perbedaan dalam masalah ritual shalat jangan dianggap terlalu serius, karena perbedaan pendapat tersebut di dalam fiqh’ Islam disebut dengan Ikhtimal.
Perbedaan pemikiran fiqh tidak tepat dikatakan sesat atau menyimpang. Kata sesat seharusnya hanya dipakai oleh ulama dalam masalah-masalah perbedaan aqidah. Dalam masalah hukum Islam atau “fiqh” tidak terdapat penggunaan kata-kata ‘sesat’. Pendapat itu hanya cukup digolongkan ke dalam pendapat yang unggul dan tidak unggul. Atau dalam istilah Arabnya adalah Rajih dan Marjuh. Atau cukup digolongkan ke dalam pendapat yang shohih (valid) atau pendapat yang ashoh (lebih valid). Ada juga yang menggolongkan ke dalam pendapat dho’if (hadza qaulun dhoifun) (pendapat yang tidak begitu kuat). Dan tidak ada dalam fiqh yang mengemukakan pendapat tentang sholat yang menggunakan bahasa Persia itu sesat. Dengan demikian penggunaan bahasa sesat merupakan suatu hal yang tidak tepat. Mungkin kalau kita menghargai etika dialog dalam hukum fiqh, maka pendapat Moch Yusman Roy adalah qaulun marjuh (pendapat yang tidak unggul). Fiqh itu adalah soal kekuatan argumen antara rojih dan marjuh.
Fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga/perorangan statusnya dalam hukum Islam adalah sama yaitu legal opinian dan non binding yang artinya tidak mengikat. Maka pendapat MUI dengan Yusuf Qardawi atau Fulan adalah sama, yang percaya boleh ikut yang tidak percaya tidak apa-apa. Artinya pernyataan sesat oleh MUI merupakan pernyataan non-binding dan bukan pro justicia.
Dalam sejarah Islam tidak ada pengadilan terhadap pemikiran fiqh atau hukum Islam. Ada kasus peradilan yang berkaitan dengan pemikiran-pemikiran tentang aqidah, tasawwuf, tetapi pengadilan itu tidak memenuhi bentuk pengadilan pemikiran tetapi penuh dengan motif-motif politik. Pengadilan atas Jamhuri Safwan atau pembunuhan atas Jamhuri Sofwan itu bukan karena ia memiliki pemikiran Mu’tazilah, tetapi karena ia juga seorang oposan pada saat itu. Jadi pengadilan atas pemikiran dalam sejarah Islam hampir tidak ada (nihil) yang ada adalah perdebatan pemikiran Islam.
Dalam proses pembuktian, penuntut umum tidak mampu membuktikan bahwa ajaran Moch Yusman Roy menodai agama, meskipun dukungan massa terus diperoleh setiap kali sidang berusaha mempengaruhi majelis hakim.
Beberapa saksi yang dihadirkan oleh Penuntut Umum, justru memberikan keterangan yang menguntungkan Moch Yusman Roy. Misalnya ketika hakim menanyakan tentang keresahan masyarakat terkait ajaran Moch Yusman Roy, justru mengatakan tidak tahu secara pasti, melainkan memberikan keterangan testimonium de auditu, yang tentu saja ditolak oleh hakim dan penasehat hukum. Beberapa keterangan justru kontraproduktif, karena saksi tidak dapat membedakan antara saksi faktual, saksi ahli, saksi a charge maupun saksi a de charge.
Berbeda dengan saksi-saksi dan bukti-bukti yang diajukan oleh tim penasehat hukum yang mampu menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Moch Yusman Roy bukan penodaan agama. Namun semakin tim penasehat hukum dapat membuktikannya; teriakan, cemoohan bahkan makian dari para pengunjung justru semakin keras.
Dakwaan Perasaan Permusuhan, Kebencian atau Penghinaan
Pengenaan pasal ini terkait dengan VCD yang dibuat oleh Moch Yusman Roy yan berisi tentang pidato/ceramah dan petunjuk teknis sholat dua bahasa, yang mana ada statemen Moch Yusman roy yang mengatakan bahwa seorang imam yang tidak mau mengikutkan bahasa Indonsia dalam sholat adalah ‘goblok pol’ (bodoh sekali).
Dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan (barang bukti, keterangan saksi dan keterangan ahli) sebagai berikut :
Bahwa pernyataan tersebut memang terdapat di dalam VCD, yakni ketika Moch Yusman Roy membawakan ceramah kepada santrinya di pondoknya.
Bahwa dalam pernyataan tersebut Moch Yusman Roy tidak menyebutkan nama tertentu atau mengarah pada seseorang tertentu.
Pernyataan Moh Yusman Roy yang dikatakan sebagai perasaan permusuhan tidak diklasifikasikan dilakukan di depan umum, karena pernyataan tersebut terdapat di dalam VCD yang peredarannya terbatas pada santri/pengikut nya.
VCD yang diproduksi oleh Moch Yusman Roy berisi tentang ajaran teknis sholat berbahasa Indonsia, sedangkan pernyataan tersebut bagian kecil dari VCD tersebut; artinya pernyataan itu bukan secara sengaja untuk/agar diketahui oleh umum. Terbukti bahwa pada kemasan VCD tertulis ‘untuk kalangan sendiri, bukan untuk diperjualbelikan’.
Dalam proses persidangan/pembuktian, pembahasan delik ini sebenarnya tidak banyak dilakukan, karena proses persidangan banyak memperdebatkan delik penodaan agama.
Mekanisme Pencegahan Penodaan Agama
Dalam dakwaan Penuntut Umum sama sekali tidak menyinggung UU No. 1/Pnps/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Padahal ketentuan dalam UU tersebut merupakan ultimum remedium yang harusnya dilakukan oleh penegak hukum sebelum dilakukan upaya pemidanaan.
Tidak satupun bukti maupun keterangan saksi yang dapat menunjukkan bahwa ketentuan dalam UU tersebut telah dilakukan. Dan pada faktanya, memang tidak pernah dilakukan upaya-upaya pencegahan oleh pemerintah maupun penegak hukum.
Pemidanaan Moch Yusman Roy justru dimulai/diawali oleh keluarnya fatwa sesat oleh MUI yang kemudian ditindaklanjuti dengan pelaporan kepada polisi, bukan diawali dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri. Fakta tersebut terungkap dalam persidangan dimana tidak satu pun bukti-bukti atau keterangan saksi yang mengatakan mekanisme pncegahan telah dilakukan.
Putusan Hakim
Pada tanggaal 30 Agustus 2005 sidang dilanjutkan dengan pembacaan putusan No: 461/Pid.B/2005/PN.Kpjn. Majelis hakim memutuskan :
Terdakwa Moch Yusman Roy tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan primer;
Membebaskan terdakwa dari dakwaan primer;
Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menyiarkan surat atau gambar yang isinya menyatakan permusuhan, penghinaan terhadap golongan penduduk di Indonesia;
Menghukum terdakwa dengan penjara selama 2 tahun;
Menyatakan barang bukti dirampas untuk dimusnahkan;
Menyatakan terdakwa tetap ditahan.

ANALISA DELIK AGAMA DAN DIMENSI HAM KRIMINALISASI MOCH YUSMAN ROY
Berikut catatan ruang lingkup hukum yang relevan dengan kasus Moch Yusman Roy.
Delik Agama-Penodaan Agama
Pasal 156a KUHP merupakan pasal yang ‘baru’ dimasukkan/ditambahkan dalam KUHP pada tahun 1965. Menurut ulasan Prof. Oemar Senoadji, pasal 156a bermaksud melindungi ketentraman orang beragama yang dapat membahayakan ketertiban umum, makanya lebih tepat disebut delik ketertiban umum. Agama justru tidak menjadi obyek utama perlindungan, melainkan ketertiban umum. Pendapat tersebut merupakan bagian dari teori Friendensschutz, yakni teori perlindungan perdamaian/ketentraman umat beragama.
Namun secara redaksional, penodaan agama menurut pasal 156a sudah dapat dipidana tanpa harus mengganggu/membahayakan ketertiban umum; bahkan sekalipun dilakukan di muka umum dihadapan orang-orang yang tidak beragama. Cenderung pada teori Relegionsschutz yakni teori perlndungan agama. Adanya divergensi atau ketidakharmonisan inilah, mengharuskan penegak hukum untuk hati-hati dalam menegakkan delik agama, dan lebih menerapkan ultimum remedium yakni upaya peringatan dan pencegahan sebagaimana diatur dalam UU No. 1/Pnps/1965.
Keputusan hakim yang menyatakan Moch Yusman Roy tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penodaan agam jelas merupakan keputusan yang tepat karena dalam proses persidangan Penuntut Umum sama sekali tidak dapat menunjukkan/membuktikan unsur-unsur penodaan agama yang dilakukan oleh Moch Yusman Roy.
Dari beberapa keterangan ahli mengatakan bahwa ajaran sholat bahasa Moch Yusman Roy merupakan perbedaan penafsiran teknis sholat tanpa merubah struktur bacaan maupun gerakan sholat itu sendiri. Dalam sejarah Islam ajaran sholat dengan bahasa non Arab pun sebenarnya telah terjadi, Abu Hanifah mengajarkan sholat dengan bahasa Persia. Walaupun ajaran ini kontroversial, namun ajaran ini tidak dapat dikategorikan sesat karena : pertama, tidak menyentuh dimensi aqidah. Kedua, memiliki akar sejarah yang juga pernah terjadi oleh Abu Hanifah. Ketiga, perbedaan macam ini disebut dengan istilah pendapat yang shohih (valid) atau pendapat yang ashoh (lebih valid).
Tidak satu pun unsur-unsur penodaan agama yang terbukti di persidangan. Tentang keresahan masyarakat misalnya, ternyata keberadaan ajaran Moch Yusman Roy tidak menimbulkan keresahan dan mengganggu ketertiban umum. Justru tekanan dan ancaman serbuan kelompok tertentu yang menamakan diri Forum Umat Islam dan mengatasnamakan seluruh Umat Islam Indonesia. Masyarakat khawatir dan resah jika pondok terdakwa diserbu rumah dan bangunan milik masyarakat sekitar juga ikut dibumi hanguskan atau dibakar, karena tindakan mereka umumnya ngawur dan brutal.
Pernyataan Perasaan Permusuhan, Kebencian atau Penghinaan
Moch Yusman Roy akhirnya dianggap terbukti melakukan tindak pidana penyebaran kebencian yang dilakukannya melalui VCD yang pada salah satu bagiannya membuat pernyataan permusuhan, yang mengatakan bahwa seorang imam yang tidak mau mengikutkan bahasa Indonsia dalam sholat adalah ‘goblok pol’ (bodoh sekali). Moch Yusman Roy pun divonis 2 tahun penjara.
Pertimbangan hakim tidak memasukkan fakta bahwa :
Distribusi VCD bukan konsumsi umum, karena hanya diperuntukkan pada santri pondok;
Pada kemasan VCD tertulis tulisan ‘untuk kalangan sendiri, bukan untuk diperjualbelikan’;
Pernyataan Moch Yusman Roy tersebut tidak ditujukan pada nama seseorang tertentu, sehingga menjadi kabur siapa yang dimaksud, siapa yang diserang dan siapa yang dirugikan;
Unsur dalam pasal 157 KUHP sebenarnya adalah ‘di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia’, bukan orang atau sekelompok orang. Dikatakan sebagai golongan dalam pasal ini dan pasal yang berikut, ialah tiap-tiap bagian dari penduduk negara Indonesia, yang berbeda dengan sesuatu atau beberapa bagian dari penduduk itu lantaran bangsanya (Ras), agamanya, tempat asalnya, keturunannya, kebangsaannya atau keadaan hukum negaranya.
Bisa jadi keputusan tersebut upaya ‘kompromi’ majelis hakim untuk meredam tekanan dan kemarahan massa yang begitu bernafsu menyerang Moch Yusman Roy dan Tim Penasehatu Hukum. Yang menarik adalah massa sebenarnya tidak mengerti jika Moch Yusman Roy dinyatakan tidak terbukti dan tidak bersalah melakukan tindak pidana penodaan agama, namun hanya dinyatakan terbukti untuk dakwaan subsider. Massa nampaknya berpikir bahwa yang penting Moch Yusman Roy akhirnya di penjara.
Mekanisme Pencegahan Penodaan Agama
Menurut pasal 2 UU No. 1/Pnps/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, jika memang dianggap sesat, Moch Yusman Roy harus diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri. Faktanya Moch Yusman Roy tidak pernah diberikan perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Jikapun Majelis Hakim beranggapan bahwa unsur-unsur dalam pasal 156 a huruf a KUHP telah terbukti secara sah dan meyakinkan, maka menurut hukum dalam hal yang demikian harus dilakukan tindakan hukum berupa perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Nomor 1/Pnps/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Sungguh tidak relevan jika sebuah fatwa MUI Kabupaten Malang dan Provinsi Jawa Timur serta Surat Keputusan Bupati Kabupaten Malang dijadikan dasar pemidanaan, menggantikan posisi Surat Keputusan Bersama. Tidak ada satupun saksi fakta, ahli maupun surat bukti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum yang dapat menunjukan bahwa yang demikian telah didelegasikan kepada instansi atau departemen di bawahnya atau pemerintah daerah, misalnya kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Malang, Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Malang dan Bupati Kabupaten Malang.
Hak atas Kebebasan Pikiran, Hati Nurani dan Memeluk Agama
Sesuai dengan pasal 18 Deklarasi Universal HAM yang menyatakan bahwa :
“Setiap orang berhak kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, dalam hal ini termasuk kebebsan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menayatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri”
Pasal tersebut kemudian di pertegas dalam Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik pasal 18, yang menyatakan bahwa :
“Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran”
Sehingga menjadi jelas bahwa tindakan Moch Yusman Roy bukanlah tindak pidana, melainkan tindakan untuk menjalankan hak asasi-nya yang dilindungi dan dijamin oleh instrumen HAM internasional maupun nasional yakni Undang-undang Dasar 1945 yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable) sebagaimana diuraikan dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 :
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”
Pasal 28-E ayat (1) :
“Setiap orang bebas untuk beragama dan beribadat menurut agamanya”
Pasal 28-E ayat (2) :
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya”
Pasal 28-I ayat (1) :
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurang dalam keadaan apapun”
Serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 2 :
“Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan”
Hak kebabasan beragama tersebut tidak dapat dipaksakan oleh siapapun juga.
pasal 74 :
“Tidak satu ketentuan pun dalam undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang ini”
Atas dasar itu pemerintah dan seluruh anggota masyarakat wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia sebagimana diatur dalam pasal 71 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia :
“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia”
Hak atas Kebebasan Mengeluarkan Pendapat
Ajaran sholat dua bahasa merupakan hasil dari istikharah (pencarian) yang disampaikan sebagai pendapat atau ajaran dari Moch Yusman Roy yang diyakininya sebagai sebuah ajaran yang benar dan layak untuk diyakini dan diamalkan. Dia meyakini bahwa ajarannya tersebut dapat menciptakan insan-insan yang unggul karena mengajarkan bagaimana cara sholat yang dapat dimengerti dan dipahami maknanya oleh pelaksana sholat itu sendiri.
Moch Yusman Roy melalui Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku melakukan sebuah proses pengkajian, pendalaman, penyerbarluasan dan pengamalan isi dari pendapat / ajaran sholat dua bahasa tersebut dengan proses yang damai. Namun kebebasan mengemukakan pendapat Moch Yusman Roy diganggu, dihambat dan dimatikan oleh sebuah sikap dari pihak lain sehingga Moch Yusman Roy tidak dapat lagi melakukan proses pengembangan, penyebarluasan dan pengamalan ajaran atau pendapatnya tersebut dengan tenang dan bebas.
Hal tersebut menyalahi pasal 19 Deklarasi Universal HAM yang menyatakan bahwa :
“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, menyampaikan keterangan-keterangan, pendapat dengan cara apapun serta dengan tidak memandang batas-batas”
Dalam konteks nasional, Pasal 23 Undang-undang No 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa :
“Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”
Hak atas Rasa Aman
Kekerasan fisik dan non-fisik yang dialami oleh Moch Yusman Roy, keluarga dan para pengikut bahkan terhadap para advokat selama kasus ini berlangsung merupakan akibat dari rendahnya pengamanan yang diberikan, yang mana kekerasan tersebut seharusnya dapat diprediksi dan diantisipasi pihak kepolisian.
Keluarga Moch Yusman Roy merasakan kekhawatiran dan keresahan atas keamanan anggota keluarga selama ditinggalkan kepala rumah tangga, dan tidak ada jaminan keselamatan yang dapat diberikan baik di lingkungan rumah maupun selama persidangan. Aparat keamanan yang disediakan jelas tidak memadai untuk memberikan rasa aman, terbukti kekerasan fisik dan non-fisik dapat terjadi begitu saja.
Menurut Undang-undang 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 29 :
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya”
Pasal 30
“Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”
Hak atas Keadilan
Ketika Kepolisian menyatakan bahwa pengaduan Moch Yusman Roy eror in persona, namun tidak bersedia untuk memberikan argumentasi dan jawaban atas permintaan saran dari Moch Yusman Roy; mengakibatkan Moch Yusman Roy tidak dapat memperoleh hak atas keadilannya terhadap pencemaran nama baik yang dilakukan oleh MUI atas fatwa sesatnya. Sebagai masyarakat yang awam dengan hukum, Moch Yusman Roy sangat bergantung dengan bimbingan atau nasehat-nasehat hukum dalam hal ini dari pihak Kepolisian untuk memperoleh rasa keadilannya.
Perlakuan yang berbeda dilakukan pihak Kepolisian yang begitu tanggap dengan pengaduan penodaan agama yang dilakukan oleh MUI atas Moch Yusman Roy. Hanya berselang 2 hari, Moch Yusman Roy ditangkap dan ditahan berdasarkan pengaduan tersebut. Perlakuan diskriminasi tersebut merupakan pengingkaran terhadap azas perlakuan yang sama di muka hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 7 Deklarasi Universal HAM yang menyatakan bahwa :
“Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi”
Undang-undang No 39 tahun 1999 Pasal 17 menegaskan bahwa :
“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proeses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”
Pasal 29
“Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada”

AKTOR
Dalam kasus Moch Yusman Roy setidaknya terdapat beberapa aktor yang terlibat secara langsung dan memiliki kontribusi dalam upaya untuk mengekang kebebasan berkeyakinan yang dimiliki oleh Moch Yusman Roy dan para pengikutnya, diantaranya :
Majelis Ulama Indonesia
Sebagai non-state actor, Majelis Ulama Indonesia memiliki peran sentral dalam membentuk sebuah klaim kebenaran atas nama Tuhan. Fatwa yang dikeluarkan MUI (Kabupaten Malang dan Provinsi Jawa Timur) menjadi alat yang begitu efektif untuk menghambat, menghentikan dan mematikan ajaran Moch Yusman Roy sehingga ia tidak bisa lagi untuk mengembangkan, menyebarluaskan dan menjalankan ajarannya dengan tenang dan bebas.
Fatwa menjadi instrumen pembunuh utama kebebasan beragama dan berkeyakinan, bukan lagi menjadi metode pembinaan umat untuk membangun kekayaan khazanah Islam sehingga menjadi agama yang Rahmatan Lil Alamin. Patut disayangkan ruang diskusi dan dialog tidak pernah diberikan secara bijak, layak dan memadai kepada Moch Yusman Roy. Melalui fatwa itulah, MUI telah menyebabkan Moch Yusman Roy tidak dapat mengembangkan, menyebarkan dan menjalankan ajaranya dengan tenang dan bebas.
Bupati Malang
Bupati sebagai kepanjangan tangan dari alat negara tidak menempatkan diri sebagai pihak yang memberikan pengaturan atau regulasi agar kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilindungi oleh konstitusi UUD 1945 dapat terlaksana dengan penuh dan sempurna. Namun yang terjadi adalah Bupati Malang menjadi kepanjangan tangan dari beberapa kelompok agama tertentu yang menamakan diri sebagai mejelis ulama Indonesia (MUI) untuk menyempurnakan fatwa yang telah dikeluarkan, yakni berupa pelarangan / penutupan pondok.
Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa bupati Malang telah bertindak terlalu jauh menempatkan persoalan Moch Yusman Roy menjadi persoalan keamanan dan ketertiban; yang seharusnya menjadi domain kepolisian.
Kepolisian
Ketika Moch Yusman Roy mengajukan permohonan petunjuk jalur hukum apa yang seharusnya dapat ditempuh, kepolisian sama sekali tidak menunjukkan niat untuk membantu Moch Yusman Roy memperoleh hak atas keadilannya. Akibat dari sikap kepolisian, Moch Yusman Roy tidak dapat menemukan rasa keadilan Moch Yusman yang dilanggar oleh MUI.
Penahanan yang dilakukan oleh Polres Kab. Malang terhadap Moch Yusman Roy sangat disesalkan oleh pihak pembela hukum (Tim Pembela Kebebasan Beragama), santri dan terutama oleh keluarga; karena Moch Yusman Roy tidak lagi menjalankan aktivitas sebagai pengajar / pembinan utama di Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku, Moch Yusman Roy merupakan tumpuan utama keluarga yang terdiri dari 9 orang anak dan seorang istri.
Walaupun menurut KUHAP, penahanan sangat mungkin dilakukan oleh pihak polisi, namun ketika Moch Yusman Roy, keluarga dan tim pembela memberikan jaminan bahwa tersangka tidak akan mengulangi perbuatan, merusak barang bukti dan mengulangi perbuatan. Seharusnya pertimbangan obyektif dan subyektif tersebut menjadi pertimbangan untuk menangguhkan penahanan terhadap Moch Yusman Roy.
Kejaksaan
Sebagai bagian dari aparat penegak hukum, Kejaksaan Negeri Malang melanjutkan proses penuntutan atas dugaan tindak pidana penodaan agama yang dilakukan oleh Moch Yusman Roy.
Pengadilan
Panggung utama kasus penodaan agama Moch Yusman Roy terjadi di Pengadilan Negeri Malang. Pada proses persidangan pidana di PN Kepanjen Kabupaten Malang sebenarnya berjalan relatif baik dimana majelis hakim cukup memiliki obyektifitas untuk tidak terpengaruh dengan tekanan-tekanan massa yang senantiasa rajin mengikuti setiap proses pemeriksaan, meskipun tekanan tersebut dilakukan secara keras, kasar dan mengganggu proses persidangan. Mejelis hakim relatif disiplin dalam memimpin persidangan sehingga setiap proses berjalan lancar. Sikap tidak profesional justru dilakukan oleh pihak Pengadilan Negeri Kepanjen yang tidak mengantisipasi membludaknya pengunjung dengan tidak menyediakan petugas keamanan yang cukup. Sikap-sikap yang tidak simpatik seringkali tidak dapat diantisipasi karena minimnya jumlah pengamanan sehingga sikap-sikap yang tidak simpatik dapat terjadi begitu saja.
Yang perlu menjadi catatan adalah keputusan majelis hakim yang menyatakan bahwa Moch Yusman Roy terbukti melakukan tindak pidana pasal 157 KUHP, dimana selama proses persidangan tidak mendapat porsi pembuktian yang cukup, karena fakta-fakta persidangan justru dakwaan pasal 157 tidak terpenuhi. Namun, terlepas dari semua kontroversi tersebut, keputusan majelis hakim tetap harus dihormati.
KOMINDA
Secara normatif, eksistensi Komunitas Intelijen Daerah (KOMINDA) di Kabupaten Malang belum memiliki basis legitimasi yang jelas, apalagi aturan main, kewenangan dan siapa saja yang tergabung di dalamnya. Anehnya, dalam SK Bupati Malang tentang Penutupan Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku, KOMINDA menjadi pertimbangan yang penting dikeluarkannya SK tersebut.
REKOMENDASI
Melihat potensi kriminalisasi yang besar, yang dilakukan oleh negara terhadap kebebasan seseorang untuk beragama maupun berkeyakinan, dan hal ini bertentangan dengan kewajiban negara yang sesungguhnya, yakni untuk memenuhi (obligation to fullfil), melindungi (obligation to protect) dan memajukan (obligation to promote). Untuk itu, dapat ditarik beberapa rekomendasi diantaranya :
Cabut delik agama dari KUHP dan RUU KHUP, karena terbukti delik agama mengurangi atau mengancam kebebasan beragama dan berkeyakinan;
Revitalisasi peran Departemen Agama (sebagai representasi negara) menjadi tidak hanya bersifat adminstratif dan travel ibadah haji saja, melainkan juga menciptakan sebuah regulasi yang dapat mendukung, menjamin dan melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan;
Menertibkan lembaga-lembaga atau sekelompok orang yang meng-klaim mewakili kepentingan umat agama tertentu agar hanya mengurusi pada pendidikan dan pembinaan; selebihnya, tunduk dalam supremasi hukum dan HAM;
Selama delik agama belum dicabut, menerapkan prinsip kehati-hatian bagi negara dan aparat penegak hukum dalam menggunakan delik agama agar tidak terjebak dalam klaim-klaim kebenaran oleh kelompok tertentu, sehingga justru mendegradasi kebebasan beragama;
Mendukung keberagaman pemikiran dan aliran suatu kepercayaan tertentu, sepanjang tidak mengganggu dan mengancam kebebasan orang lain.